Senin, 07 Juli 2014

Pandangan tentang pemikiran islam menjelang pilpres 2014

Pandangan tentang pemikiran islam menjelang pilpres 2014

Nasionalisme Indonesia lahir dari rahim organisasi Islam yaitu Sarikat Islam. Kemerdekaan RI diproklamirkan 17 Agustus 1945 jatuh pada saat Ramadan, dan Pilpres 2014 dapat juga disebut istimewa karena Muslim Indonesia sedang melaksanakan ibadah puasa saat pencoblosan pada Rabu 9 Juli 2014 atau 11 Ramadan 1435 H.
Menjelang Pilpres tahun 2014 ini, marak sekali iklan politik dan berita di media massa maupun sosial media. Ada yang muatannya memuji-muji diri sendiri, mencitrakan sesuatu, menjanjikan sesuatu, mengkritik, menyindir, menuduh, membantah, menuding, menjelekkan, mengaburkan, mengalihkan, dan lain-lain.           
            Berbicara tentang pemikiran islam bahwa Islam yang ada hari ini cenderung pasif dalam artian hanya berkutat tentang surga dan neraka, benar salah, serta dilakukan kebanyakan orang. Jika ada pemikiran yang menyalahi pakem ( kebiasaan) dianggap liberal, kafir, murtad, orientalis ataupun agama di rasionalisasikan. Padahal pemikiran islam yang ada hari ini di doktrin sesuai dengan islamnya orang arab. Sedangkan islam orang Indonesia masih menganut kepercayaan lama, misalnya kejawen. Jadi gerakan wahabinan ( menganggap islam arab yang benar) menurutku kelompok-kelompok  inilah yang akan menimbulkan perpecahan di Negara ini. Deislamisasi jokowi dan prabowo? Masalah agama jangan di campur adukkan dengan politik, agama jangan hanya di pandang dari sudut yang sempit tapi harus secara inklusif bukan malah justru menutup diri serta adanya bumbu-bumbu politik. Dalam UUD jelas tertera kebebasan memeluk agama bagi pemeluknya jadi masalah deislamisasi bukan karena mereka berdua tapi karena sekelompok orang saja yang menganggap agamanya dan cara beribadahnya paling benar.
            Dalam pendekatan tekstual agama jangan dicampur dengan politik contohnya fpi (tekstual) sedangkan kontekstualnya agama tak bisa dipisahkan dengan negara tapi tidak usah dipolitisasi sehingga jika berbeda cara dan pemikiran dianggap sesat.
Dalam kampanye hitam dan kampanye negatif, Menurut Nelson Simanjuntak (Komisioner Badan Pengawas Pemilu /Bawaslu), kampanye bisa disebut sebagai kampanye hitam jika materi kampanye tidak sesuai dengan kenyataan atau mengada-ada. Isi kampanye cenderung mengandung fitnah dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Sementara, kampanye negatif adalah kampanye yang materinya nyata adanya atau pernah terjadinya. Namun, kenyataan tersebut biasanya berkaitan dengan hal-hal negatif menyangkut pasangan calon. Sehingga merusak citra pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi objek kampanye. (Republika.co.id 27 Mei 2014, 14:24 WIB)
Dengan kata lain kampanye negatif, adalah kampanye yang isinya memojokkan lawan, dengan data-data, dan berupaya memberikan penyadaran kepada awam akan bahaya partai yang jadi sedang berpotensi menang. Misalnya caleg yang memojokkan partai yang berpotensi menang pemilu. Menuding partai lawan partai pro wong cilik, tapi saat berkuasa dulu, presidennya jual BUMN, jual aset negara dengan harga murah, jadi antek asing. Tudingan itu dilengkapi data-data. Sebagiannya diplintir tentunya.
Sedangkan kampanye hitam, adalah kampanye negatif yang isinya menjelek-jelekkan lawan dengan hanya menyoroti keburukannya. Bahkan yang belum tentu buruk pun, diburukkan. Kampanye hitam juga tak ragu menyinggung SARA. Misalnya, menuduh capres pembohong, ingkar janji, non muslim, dan memperlakukannya sebagai penjahat. Padahal yang dituding, sedang berupaya memperbaiki negara dalam skala lebih tinggi.
 Isu-isu yang berbau SARA selalu menjadi salah satu andalan baik oleh kandidat maupun tim kampanye. Isu-isu berbau SARA tersebut sepertinya dirasa cukup efektif untuk mendiskreditkan kandidat lain sehingga rakyat tidak berkenan memilihnya, sekaligus menaikkan pamor kandidat yang didukung untuk mendapatkan suara pemilih. Salah satu isu SARA yang gencar dihembuskan adalah yang terkait dengan agama, khususnya agama yang saya anut, yaitu Islam.
Seperti materi kampanye yang ini, sangat memaksakan analogi dalam rangka mendiskreditkan seorang capres demi menguntungkan capres yang didukungnya. “Golongan X yang berseberangan dengan agama Islam mendukung capres A, sehingga capres A pasti mendukung golongan X. Oleh karena itu jangan pilih capres A” Demikian kurang lebih informasi yang berseliweran baik dari mulut ke mulut ataupun di internet seperti beberapa website dan media sosial.
Logika dan analogi ini terlihat sangat memaksa. Apa salah sang Capres A, jika golongan X mendukungnya menjadi presiden? Apakah sang Capres A harus menolak dukungan tersebut? Apakah sang Capres A yang didukung oleh golongan X otomatis sepaham dan sepemikiran dengan ideologis golongan X? Presiden yang dipilih akan mengurusi banyak hal, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, insfrastruktur dan ribuan persoalan lainnya. Tidak hanya ideologi tertentu saja. Bisa jadi golongan X yang walaupun berseberangan dengan agama Islam, memilih capres A karena pertimbangan non Idiologi, meskipun ada juga kemungkinan berlatar ideologi. Namun demikian, siapa yang bisa memastikan si Capres A karena mendapat dukungan golongan X akan mengakomodir penuh keinginan ideologi golongan X? Apakah si capres A juga akan begitu saja mengabaikan konstituennya yang juga banyak beragama Islam? Atau apakah ada jaminan si Capres B yang tidak didukung golongan X akan sepenuhnya mengakomodir keinginan pendukungnya yang beragama Islam untuk memberangus golongan X?
Itulah isu sara terkait agama Islam yang dilontarkan tokoh, tim kampanye, pendukung dan simpatisan, khususnya dalam mengupayakan agar capres yang didukungnya bisa menang dalam pemilihan presiden tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang. Isusara tersebut menurut saya sangat berlebihan dan tidak sepantasnya dilakukan. Kecintaan kepada agama sendiri memang dibenarkan dan sangat dianjurkan. Namun demikian, harus tetap diselaraskan dengan ajaran agama yang mengedepankan keluhuran moral dan cara-cara yang benar, baik dan jujur. Bukan hanya karena sangat mengiginkan kemenangan, maka segala cara dihalalkan dan dibenarkan.
Apapun pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen kita untuk memajukan bangsa tercinta ini. Dengan begitu pilihan ini tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah teman berpikir, lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh yang akan saling menghabisi, lawan itu akan saling menguatkan.