Pandangan tentang pemikiran islam menjelang
pilpres 2014
Nasionalisme Indonesia lahir dari rahim organisasi Islam yaitu Sarikat
Islam. Kemerdekaan RI diproklamirkan 17 Agustus 1945 jatuh pada saat Ramadan,
dan Pilpres 2014 dapat juga disebut istimewa karena Muslim Indonesia sedang
melaksanakan ibadah puasa saat pencoblosan pada Rabu 9 Juli 2014 atau 11
Ramadan 1435 H.
Menjelang Pilpres tahun 2014 ini, marak sekali iklan politik dan berita di
media massa maupun sosial media. Ada yang muatannya memuji-muji diri sendiri,
mencitrakan sesuatu, menjanjikan sesuatu, mengkritik, menyindir, menuduh,
membantah, menuding, menjelekkan, mengaburkan, mengalihkan, dan lain-lain.
Berbicara tentang pemikiran islam
bahwa Islam yang ada hari ini cenderung pasif dalam artian hanya berkutat
tentang surga dan neraka, benar salah, serta dilakukan kebanyakan orang. Jika
ada pemikiran yang menyalahi pakem ( kebiasaan) dianggap liberal, kafir,
murtad, orientalis ataupun agama di rasionalisasikan. Padahal pemikiran islam
yang ada hari ini di doktrin sesuai dengan islamnya orang arab. Sedangkan islam
orang Indonesia masih menganut kepercayaan lama, misalnya kejawen. Jadi gerakan
wahabinan ( menganggap islam arab yang benar) menurutku kelompok-kelompok inilah yang akan menimbulkan perpecahan di
Negara ini. Deislamisasi jokowi dan prabowo? Masalah agama jangan di campur
adukkan dengan politik, agama jangan hanya di pandang dari sudut yang sempit
tapi harus secara inklusif bukan malah justru menutup diri serta adanya bumbu-bumbu
politik. Dalam UUD jelas tertera kebebasan memeluk agama bagi pemeluknya jadi
masalah deislamisasi bukan karena mereka berdua tapi karena sekelompok orang
saja yang menganggap agamanya dan cara beribadahnya paling benar.
Dalam pendekatan tekstual agama
jangan dicampur dengan politik contohnya fpi (tekstual) sedangkan kontekstualnya
agama tak bisa dipisahkan dengan negara tapi tidak usah dipolitisasi sehingga
jika berbeda cara dan pemikiran dianggap sesat.
Dalam kampanye hitam dan kampanye negatif, Menurut Nelson Simanjuntak
(Komisioner Badan Pengawas Pemilu /Bawaslu), kampanye bisa disebut sebagai
kampanye hitam jika materi kampanye tidak sesuai dengan kenyataan atau
mengada-ada. Isi kampanye cenderung mengandung fitnah dan tidak bisa dibuktikan
kebenarannya. Sementara, kampanye negatif adalah kampanye yang materinya nyata
adanya atau pernah terjadinya. Namun, kenyataan tersebut biasanya berkaitan
dengan hal-hal negatif menyangkut pasangan calon. Sehingga merusak citra
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi objek kampanye.
(Republika.co.id 27 Mei 2014, 14:24 WIB)
Dengan kata lain kampanye negatif, adalah kampanye yang isinya memojokkan
lawan, dengan data-data, dan berupaya memberikan penyadaran kepada awam akan
bahaya partai yang jadi sedang berpotensi menang. Misalnya caleg yang
memojokkan partai yang berpotensi menang pemilu. Menuding partai lawan partai
pro wong cilik, tapi saat berkuasa dulu, presidennya jual BUMN, jual aset
negara dengan harga murah, jadi antek asing. Tudingan itu dilengkapi data-data.
Sebagiannya diplintir tentunya.
Sedangkan kampanye hitam, adalah kampanye negatif yang isinya
menjelek-jelekkan lawan dengan hanya menyoroti keburukannya. Bahkan yang belum
tentu buruk pun, diburukkan. Kampanye hitam juga tak ragu menyinggung SARA.
Misalnya, menuduh capres pembohong, ingkar janji, non muslim, dan
memperlakukannya sebagai penjahat. Padahal yang dituding, sedang berupaya
memperbaiki negara dalam skala lebih tinggi.
Isu-isu yang berbau SARA selalu menjadi salah satu andalan baik oleh
kandidat maupun tim kampanye. Isu-isu berbau SARA tersebut sepertinya dirasa
cukup efektif untuk mendiskreditkan kandidat lain sehingga rakyat tidak
berkenan memilihnya, sekaligus menaikkan pamor kandidat yang didukung untuk
mendapatkan suara pemilih. Salah satu isu SARA yang gencar dihembuskan adalah
yang terkait dengan agama, khususnya agama yang saya anut, yaitu Islam.
Seperti materi kampanye yang ini, sangat memaksakan analogi dalam rangka
mendiskreditkan seorang capres demi menguntungkan capres yang didukungnya.
“Golongan X yang berseberangan dengan agama Islam mendukung capres A, sehingga
capres A pasti mendukung golongan X. Oleh karena itu jangan pilih capres A”
Demikian kurang lebih informasi yang berseliweran baik dari mulut ke mulut
ataupun di internet seperti beberapa website dan media sosial.
Logika dan analogi ini terlihat sangat memaksa. Apa salah sang Capres A,
jika golongan X mendukungnya menjadi presiden? Apakah sang Capres A harus
menolak dukungan tersebut? Apakah sang Capres A yang didukung oleh golongan X
otomatis sepaham dan sepemikiran dengan ideologis golongan X? Presiden yang
dipilih akan mengurusi banyak hal, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, insfrastruktur dan ribuan persoalan lainnya. Tidak hanya ideologi
tertentu saja. Bisa jadi golongan X yang walaupun berseberangan dengan agama
Islam, memilih capres A karena pertimbangan non Idiologi, meskipun ada juga
kemungkinan berlatar ideologi. Namun demikian, siapa yang bisa memastikan si
Capres A karena mendapat dukungan golongan X akan mengakomodir penuh keinginan
ideologi golongan X? Apakah si capres A juga akan begitu saja mengabaikan
konstituennya yang juga banyak beragama Islam? Atau apakah ada jaminan si
Capres B yang tidak didukung golongan X akan sepenuhnya mengakomodir keinginan
pendukungnya yang beragama Islam untuk memberangus golongan X?
Itulah isu sara terkait agama Islam yang dilontarkan tokoh, tim kampanye,
pendukung dan simpatisan, khususnya dalam mengupayakan agar capres yang
didukungnya bisa menang dalam pemilihan presiden tanggal 9 Juli 2014 yang akan
datang. Isusara tersebut menurut saya sangat berlebihan dan tidak sepantasnya
dilakukan. Kecintaan kepada agama sendiri memang dibenarkan dan sangat
dianjurkan. Namun demikian, harus tetap diselaraskan dengan ajaran agama yang
mengedepankan keluhuran moral dan cara-cara yang benar, baik dan jujur. Bukan
hanya karena sangat mengiginkan kemenangan, maka segala cara dihalalkan dan
dibenarkan.
Apapun pilihan kita itu adalah karena kecintaan kita pada Indonesia dan
komitmen kita untuk memajukan bangsa tercinta ini. Dengan begitu pilihan ini
tidak boleh menyebabkan permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah
teman berpikir, lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh
yang akan saling menghabisi, lawan itu akan saling menguatkan.